Bio-rock
Juga berupa
Habitat buatan. Ambil contoh kasus kegiatan yang pernah kami garap. Struktur
berbentuk kerangka atap joglo, lokasi pantai Labuanpandan-Sambelia
tahun 2005. Garapan para Unyil-Diver UGM. Formasi kawat beton di-las pada
pertemuan titik. Diceburkan pada lokasi kedalaman tertentu. Tadi-nya saya pikir
seperti TKB pada umumnya. Ternyata, pada struktur terpasang arus
listrik. Dengan bentang kabel lumayan panjang dari induk Power-Supply.
Kerjanya mirip tehnik sepuh logam sederhana, anoda-katoda. Arus listrik
negatif(-) dipasang pada struktur utama.
Pada ujung arus kabel positif(+) terdapat
alat khusus. Sirkulasi listrik ini yang konon membantu percepatan tumbuh (akresi).
Ber-efek fertilisasi polip karang meningkatkan produksi larva planula-nya.
Pada tiap titik kawat dipasang bongkahan karang hidup yang diambil di areal
sekitar-nya. Artinya tindakan ini masih seperti aksi transplantasi
karang. Merekayasa proses percepatan pertumbuhan. Dibarengi perlakuan khusus. Selang
waktu, kami lakukan monitoring. Ternyata akresi lumayan cepat. Nyaris
semua bagian kawat beton sudah dilumuri penumpukan kapur.
Pada specimen montipora malah telah
menyatu erat pada besi beton, sebagai media tumbuh-nya (substrate).
Asupan sirkulasi listrik rutin. Tugas lain lagi, harus dilakukan pembersihan
beberapa biota competitor. Biasa berupa sponge maupun tunikata. Sebagai
upaya mengutamakan tumbuh-nya para koloni kategori karang keras. Dua bulan kedepan-nya lagi kami lakukan
monitoring ulang. Harus jenguk karena berita cukup mengenaskan. Listrik
pendukung kinerja Bio-rock mandek total. Penyebabnya gak ada
lain. Gardu listrik induk yang dikelola pihak swasta wilayah Lombok Timur
dirusak massa. Lombok Timur padam total beberapa hari. Nelangsa benar nasib Bio-rock
yang kami tangani. Semua tubuh lonjor besi yang tadinya ditumbuhi kapur kini
mati. Tertutup lumut. Program berakhir
Rumpon Elektronik
Ciptaan IPB
Pengembangan teknologi
penangkapan ikan pada masa yang akan datang tidak hanya ditujukan untuk
meningkatkan hasil tangkapan akan tetapi juga ditujukan untuk memperbaiki
proses penangkapan (capture process), mengurangi pengaruh penangkapan (fishing
impact) terhadap lingkungan dan keragaman hayati (bio-diversty) (Arimoto,
2000). Ke depan, para nelayan mungkin tidak akan lagi mengalami kesulitan
ketika menangkap ikan. Para peneliti di Institut Pertanian Bogor (IPB) telah
menciptakan teknologi penangkapan ikan baru.
Rumpon elektronik Rumpon
sendiri sebenarnya sudah tidak asing lagi di mata nelayan. Alat bantu dalam
aktivitas penangkapan ikan yang digunakan untuk menarik ikan tersebut kerap
digunakan setiap kali melaut. Isu internasional tentang penggunaan rumpon
sebagai alat bantu penangkapan ikan sudah di mulai sejak tahun 1999. Hal ini
dipicu oleh alat tangkap purse seine yang berkembang pesat di Samudera Hindia
bagian timur yang dioperasikan pada drifting aggregating device yang mampu
menangkap ikan-ikan tuna berukuran kecil yang belum matang gonad. Terdapat pro
dan kontra tentang hal ini karena rumpon sangat diyakini efektif untuk
menangkap ikan. Konflik ini cepat atau lambat akan sampai di Indonesia,
apalagi implementasi “Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)”
telah mulai dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, di mana kegiatan proses
penangkapan ikan, termasuk di dalamnya penggunaan rumpon akan diatur secara
berwawasan lingkungan. Hanya saja, memang kebanyakan rumpon bersifat pasif dan
menetap. Misalnya rumpon yang dibuat dari pelepah pohon kelapa atau rongsokan
beca yang ditenggelamkan. Jenis rumpon tradisional ini umumnya menggunakan satu
jenis attraktor tertentu dan cenderung memiliki selektivitas target yang rendah
atau hasil tangkapan sampingan (by-catch) yang tinggi. Dengan demikian rumpon
ini tidak mampu melakukan pemilahan target yang diinginkan dari sisi jenis dan
ukuran ikan.
Di samping itu, daya tahan rumpon tradisional
terbatas, misalnya daun kelapa yang ditempatkan di laut akan cepat lapuk dan
terbawa oleh arus laut. “Nah, rumpon yang kami ciptakan ini adalah rumpon
elektronik, di mana kami mencoba memasukkan teknologi elektronika yang sifatnya
aktif yang berfungsi untuk mengumpulkan ikan di suatu perairan,” kata Dekan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Indrajaya. Indra Jaya mengatakan
kalau tim yang dipimpinnya sangat luar biasa karena bisa memikirkan
persoalan-persoalan perikanan saat ini. Mereka mencoba berkarya untuk kehidupan
nelayan yang lebih dan untuk melindungi biota laut. “Dari berbagai persoalan
dan kajian masalah nelayan dalam penangkapan ikan dan tantangan masa depan,
kami terus melakukan terobosan-terobosan untuk menjwab semuanya. Ide ini
merupakan hal yang sangat berharga untuk masa yang akan datang,” ujarnya. Indra
menjelaskan, rumpon ciptaan IPB menggunakan dua attractor atau penarik yaitu
cahaya dan suara.
Penggunaan dua
attractor tersebut didasari hasil penelitian tentang tingkah laku ikan yang
menunjukkan bahwa ada spesies ikan yang tertarik terhadap cahaya (fototaksis
positif) dan ada juga ikan yang tertarik dengan suara (akustitaksis). “Ikan
yang memiliki ketertarikan terhadap intensitas cahaya dan frekuensi suara
tertentu akan mendekat dan berkumpul.Berdasarkan fenomena tersebut, maka
dirancang alat yang mampu membangkitkan intensitas cahaya dan frekuensi suara
yang disukai oleh ikan,” terangnya.
Penggunaan rumpon elektronik, lanjut Indra, sangat mudah. Alat bantu itu cukup ditenggelamkan ke dalam air laut hingga kedalaman maksimal lima meter. “Tidak perlu lebih, karena biasanya di atas kedalaman lima meter itu cahaya berkurang atau bahkan gelap,” papar Indra. Manfaat yang bisa diperoleh dari penelitian ini adalah terkumpulnya ikan pada suatu daerah yang akan memudahkan nelayan untuk dapat melakukan operasi penangkapan ikan. “Perkembangan selanjutnya akan menciptakan sebuah metoda penangkapan/fishing technique baru dimana aktivitas penangkapan ikan dapat dilakukan secara efektif dan efisien serta selektif. Hal ini memungkinkan karena ikan yang tertarik dengan cahaya dan suara tentunya hanya ikan-ikan jenis tertentu yang spesifik,” kata Indra.
Penggunaan rumpon elektronik, lanjut Indra, sangat mudah. Alat bantu itu cukup ditenggelamkan ke dalam air laut hingga kedalaman maksimal lima meter. “Tidak perlu lebih, karena biasanya di atas kedalaman lima meter itu cahaya berkurang atau bahkan gelap,” papar Indra. Manfaat yang bisa diperoleh dari penelitian ini adalah terkumpulnya ikan pada suatu daerah yang akan memudahkan nelayan untuk dapat melakukan operasi penangkapan ikan. “Perkembangan selanjutnya akan menciptakan sebuah metoda penangkapan/fishing technique baru dimana aktivitas penangkapan ikan dapat dilakukan secara efektif dan efisien serta selektif. Hal ini memungkinkan karena ikan yang tertarik dengan cahaya dan suara tentunya hanya ikan-ikan jenis tertentu yang spesifik,” kata Indra.
Rumpon elektronik itu
sendiri, kata Indra, sebenarnya sudah dilakukan uji-coba pada 2008 lalu di
Kepulauan Seribu dan hasilnya sangat memuaskan. Karena, dengan adanya bahan
cahaya pada rumpon elektronik itu, ikan-ikan akan merasa nyaman saat mata
mereka berinteraksi dengan cahaya. Dibandingkan dengan rumpon tradisional yang
pembuatannya bisa mencapai Rp40 juta-an, rumpon elektronik lebih murah. Dari
semua bahan-bahan yang digunakan untuk membuat rumpon elektronik hanya
dibutuhkan Rp2,5 juta saja.
Meskipun produksi pembuatannya terbilang murah dari rumpon tradisional, rumpon elektronik belum dipasarkan secara massal.Itu karena, IPB hanya bergerak dalam hal pengembangan tekhnologi, sehingga aplikasinya masih terbatas. Karena itu, Indra terhadap hasil temuan-temuan tim peneliti yang dipimpinnya membuka diri kepada pihak yang hendak melakukan produksi massal. “Kalau ada persusahaan yang mau, kita akan melakukan kerjasama dengan memberitahukan cara-caranya. Dan tentunya hak ciptanya adala tim penelitiIPB,”.
Meskipun produksi pembuatannya terbilang murah dari rumpon tradisional, rumpon elektronik belum dipasarkan secara massal.Itu karena, IPB hanya bergerak dalam hal pengembangan tekhnologi, sehingga aplikasinya masih terbatas. Karena itu, Indra terhadap hasil temuan-temuan tim peneliti yang dipimpinnya membuka diri kepada pihak yang hendak melakukan produksi massal. “Kalau ada persusahaan yang mau, kita akan melakukan kerjasama dengan memberitahukan cara-caranya. Dan tentunya hak ciptanya adala tim penelitiIPB,”.
Gambar dari terumbu
buatan rumpon elektronik
Patung
Bawah Laut
Terbuat dari
semen khusus, patung ini sekaligus menjadi terumbu karang yang 'ditanam'
sepuluh meter dari permukaan air laut. Variasi ikan dan makhluk laut lain di
Laut Karibia pun akan terjaga kelestariannya di habitat buatan ini.
Gambar dari
terumbu buatan patung
Concrete.
Peralatan
AFR terbuat dari bahan semen, pasir dan kerangka besi diolah menjadi
concrete. AFR didesain dalam berbagai bentuk sesuai dengan tujuan sebagai
habitat buatan bagi ikan, cumi-cumi, lobster, kerang mata tujuh, dan biota
lainnya. Desain AFR dapat dikelompokkan kepada 3 hal, yaitu: 1) AFR untuk
jenis-jenis ikan, 2) ARF untuk pemijahan, 3) ARF untuk tanaman laut. ARF untuk jenis-jenis ikan didesain
dengan bentuk silinder (cylindrical
shape) yang sesuai sebagai habitat dan pengumpulan organisme laut
karena efek lindungnya (shading
effect). Bentuk lain adalah rectangular yang beratnya sekitar 10
ton, dan bentuk kerangka ”rumah” dengan berat sekitar 30 ton. ARF untuk pemijahan diklasifikasikan
dalam 3 grup, yaitu 1) ARF untuk cumi-cumi, dengan bentuk dasar yang khas, 2)
ARF untuk gurita dengan bentuk cakram, dan 3) ARF untuk ikan-ikan dengan
formasi dasar tanaman laut atau rumput laut. ARF untuk tanaman laut di dasar laut disebut sebagai ”Marino-plantation”
ditujukan untuk beberapa kegunaan, baik sebagai habitat ikan, maupun untuk
membentuk lingkungan tanaman laut yang juga bermanfaat untuk melindungi lingkungan
pantai.
Desain
dan konstruksi AFR yang diuraikan disini adalah produk paten Jepang, yaitu: 1) Cylinder (berat 11
ton, diameter 3 m), 2) Rectangular
(berat 10 ton), 3) Multi reef untuk oyster (berat 6 ton, tinggi 2.5
meter), 4) Sepia
untuk cumi2 dan bulubabi (berat 10 ton dan diameter 3 m), 5) Cradle untuk gurita
(berat 4 ton diameter 2,20 m), 4) Ebisu
untuk lobster (berat 5.5 ton, diameter 3 m), 6) Kainosu untuk tempat abalone (kerang
mata tujuh) (berat 60 kg, diameter 49 cm), dan 7) Marino plantation berkegunaan ganda
untuk rumput laut. Konstruksi AFR
sebenarnya tidak begitu susah kalau perlengkapannya semua tersedia, yaitu
peralatan dan bahan untuk pembuatan concrete
AFR. Jenis AFR yang akan dibuat dibentuk dulu tuangannya (molding),
sehingga AFR dapat diproduksi dalam jumlah yang banyak (mass production).
Mengingat ukuran dan berat dari beberapa jenis AFR cukup besar, maka diperlukan
derek pengangkut muatan yang kapasitasnya hingga 30 Ton. Untuk jenis AFR yang
lebih kecil, maka kapasitas derek pengangkut disesuaikan ke ukuran yang juga
kecil. Tempat produksi AFR hendaknya di daerah pantai pada pinggir perairan
agak dalam sehingga kapal pengangkut ARF dapat merapat ke pantai, sehingga
pemindahan produk ARF dari tempat produksi ke kapal dapat dilakukan secara
efektif dan efisien.
Penumpukan
AFR di setiap lokasi biasanya berkisar 100-300 buah disusun berdampingan di
dasar laut ataupun disusun bertingkat. Jarak suatu lokasi kumpulan AFR dengan
lokasi lainnya dipertimbangkan sesuai dengan hasil analisis keberadaan
sumberdaya ikan di daerah perairan tersebut. Kedalaman air hingga ke
dasar laut untuk penempatan AFR adalah paling tinggi 50 meter. Efek
dari AFR sebagai habitat buatan adalah meningkatkan kuantitas sumberdaya ikan.
AFR yg dipasang bertahun-tahun didalam laut akan ditempeli oleh rumput laut,
plankton, dan biota lainnya, sehingga terbentuk suatu habitat yg cocok untuk
ikan. Stok sumberdaya ikan nantinya meningkat di daerah sekitar ARF ini.
Fungsi ARF adalah untuk menggantikan habitat alami yang tidak rusak akibat
tekanan penangkapan ikan atau lingkungan yang tergradasi.
Gambar dari terumbu
buatan concert
Ban
bekas
Terumbu karang yang ia
maksud adalah rangkaian ban-ban mobil bekas yang dipertautkan satu sama lain
menggunakan tali tambang plastik. Satu gugus terdiri atas 30 ban mobil bekas
yang disusun hingga membentuk kerucut atau piramida. Pada alas kerucut, celah-celah
ban bekas diberi semen sebagai pemberat.
Antara 5-12 Desember 2005, terumbu karang buatan berbentuk kerucut itu dilarung ke pantai barat dan timur Pangandaran, dibenamkan ke dasar laut di kedalaman lebih kurang 10 meter dari bibir pantai. Seluruh terumbu karang buatan yang dilarung berjumlah 40 gugus. Itu berarti Agus membenamkan 1.200 ban mobil bekas di pantai bara
Antara 5-12 Desember 2005, terumbu karang buatan berbentuk kerucut itu dilarung ke pantai barat dan timur Pangandaran, dibenamkan ke dasar laut di kedalaman lebih kurang 10 meter dari bibir pantai. Seluruh terumbu karang buatan yang dilarung berjumlah 40 gugus. Itu berarti Agus membenamkan 1.200 ban mobil bekas di pantai bara
Gambar dari terumbu
buatan ban bekas
Mitigasi
terumbu buatan
Kerusakan
Ekosistem Terumbu Karang dan Produktivitas Kerusakan ekosistem terumbu karang
tidak terlepas dari aktivitas manusia baik di daratan maupun pada ekosistem
pesisir dan lautan. Kegiatan manusia di daratan seperti industri, pertanian,
rumah tangga akhirnya dapat menimbulkan dampak negatif bukan saja pada perairan
sungai tetapi juga pada ekosistem terumbu karang atau pesisir dan lautan.
Menurut
UNEP (1990) dalam Dahuri R..et al (2001) sebagian besar (80 %) bahan pencemar
yang ditemukan di laut berasal dari kegiatan manusia di daratan (land basic
activities). Sebagai contoh kegiatan pengolahan pertanian dan kehutanan (up
land) yang buruk tidak saja merusak ekosistem sungai melalui banjir dan erosi
tetapi juga akan menimbulkan dampak negatif pada perairan pesisir dan lautan.
Melalui penggunaan pupuk anorganik dan pestisida dari tahun ke tahun yang terus
mengalami peningkatan telah menimbulkan masalah besar bagi wilayah pesisir dan
lautan (Supriharyono, 2000). Pada tahun 1972 penggunaan pupuk nitrogen untuk
seluruh kegiatan pertanian di Indonesia tercatat sekitar 350.000,- ton, maka
pada tahun 1990 jumlah tersebut meningkat menjadi 1.500.000,- ton. Total
penggunaan pestisida (insektisida) pada tahun 1975 sebesar 2.000 ton, kemudian
pada tahun 1984 mencapai 16.000,- ton (Dahuri R.et al. 2001).
Daftar pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar