Selasa, 18 Maret 2014

macam-macam terumbu buatan



Bio-rock
Juga berupa Habitat buatan. Ambil contoh kasus kegiatan yang pernah kami garap. Struktur berbentuk kerangka atap joglo, lokasi pantai Labuanpandan-Sambelia tahun 2005. Garapan para Unyil-Diver UGM. Formasi kawat beton di-las pada pertemuan titik. Diceburkan pada lokasi kedalaman tertentu. Tadi-nya saya pikir seperti TKB pada umumnya. Ternyata, pada struktur terpasang arus listrik. Dengan bentang kabel lumayan panjang dari induk Power-Supply. Kerjanya mirip tehnik sepuh logam sederhana, anoda-katoda. Arus listrik negatif(-) dipasang pada struktur utama. Pada ujung arus kabel positif(+) terdapat alat khusus. Sirkulasi listrik ini yang konon membantu percepatan tumbuh (akresi). Ber-efek fertilisasi polip karang meningkatkan produksi larva planula-nya. Pada tiap titik kawat dipasang bongkahan karang hidup yang diambil di areal sekitar-nya. Artinya tindakan ini masih seperti aksi transplantasi karang. Merekayasa proses percepatan pertumbuhan. Dibarengi perlakuan khusus. Selang waktu, kami lakukan monitoring. Ternyata akresi lumayan cepat. Nyaris semua bagian kawat beton sudah dilumuri penumpukan kapur.
 Pada specimen montipora malah telah menyatu erat pada besi beton, sebagai media tumbuh-nya (substrate). Asupan sirkulasi listrik rutin. Tugas lain lagi, harus dilakukan pembersihan beberapa biota competitor. Biasa berupa sponge maupun tunikata. Sebagai upaya mengutamakan tumbuh-nya para koloni kategori karang keras.  Dua bulan kedepan-nya lagi kami lakukan monitoring ulang. Harus jenguk karena berita cukup mengenaskan. Listrik pendukung kinerja Bio-rock mandek total. Penyebabnya gak ada lain. Gardu listrik induk yang dikelola pihak swasta wilayah Lombok Timur dirusak massa. Lombok Timur padam total beberapa hari. Nelangsa benar nasib Bio-rock yang kami tangani. Semua tubuh lonjor besi yang tadinya ditumbuhi kapur kini mati. Tertutup lumut. Program berakhir
                                 



Rumpon Elektronik Ciptaan IPB
Pengembangan teknologi penangkapan ikan pada masa yang akan datang tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan hasil tangkapan akan tetapi juga ditujukan untuk memperbaiki proses penangkapan (capture process), mengurangi pengaruh penangkapan (fishing impact) terhadap lingkungan dan keragaman hayati (bio-diversty) (Arimoto, 2000).  Ke depan, para nelayan mungkin tidak akan lagi mengalami kesulitan ketika menangkap ikan. Para peneliti di Institut Pertanian Bogor (IPB) telah menciptakan teknologi penangkapan ikan baru.
Rumpon elektronik Rumpon sendiri sebenarnya sudah tidak asing lagi di mata nelayan. Alat bantu dalam aktivitas penangkapan ikan yang digunakan untuk menarik ikan tersebut kerap digunakan setiap kali melaut. Isu internasional tentang penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan sudah di mulai sejak tahun 1999. Hal ini dipicu oleh alat tangkap purse seine yang berkembang pesat di Samudera Hindia bagian timur yang dioperasikan pada drifting aggregating device yang mampu menangkap ikan-ikan tuna berukuran kecil yang belum matang gonad. Terdapat pro dan kontra tentang hal ini karena rumpon sangat diyakini efektif untuk menangkap ikan.  Konflik ini cepat atau lambat akan sampai di Indonesia, apalagi implementasi  “Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)” telah mulai dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, di mana kegiatan proses penangkapan ikan, termasuk di dalamnya penggunaan rumpon akan diatur secara berwawasan lingkungan. Hanya saja, memang kebanyakan rumpon bersifat pasif dan menetap. Misalnya rumpon yang dibuat dari pelepah pohon kelapa atau rongsokan beca yang ditenggelamkan. Jenis rumpon tradisional ini umumnya menggunakan satu jenis attraktor tertentu dan cenderung memiliki selektivitas target yang rendah atau hasil tangkapan sampingan (by-catch) yang tinggi. Dengan demikian rumpon ini tidak mampu melakukan pemilahan target yang diinginkan dari sisi jenis dan ukuran ikan.
 Di samping itu, daya tahan rumpon tradisional terbatas, misalnya daun kelapa yang ditempatkan di laut akan cepat lapuk dan terbawa oleh arus laut. “Nah, rumpon yang kami ciptakan ini adalah rumpon elektronik, di mana kami mencoba memasukkan teknologi elektronika yang sifatnya aktif yang berfungsi untuk mengumpulkan ikan di suatu perairan,” kata Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Indrajaya. Indra Jaya mengatakan kalau tim yang dipimpinnya sangat luar biasa karena bisa memikirkan persoalan-persoalan perikanan saat ini. Mereka mencoba berkarya untuk kehidupan nelayan yang lebih dan untuk melindungi biota laut. “Dari berbagai persoalan dan kajian masalah nelayan dalam penang­kapan ikan dan tantangan masa depan, kami terus melakukan tero­bosan-terobosan untuk menjwab semuanya. Ide ini merupakan hal yang sangat berharga untuk masa yang akan datang,” ujarnya. Indra menjelaskan, rumpon ciptaan IPB menggunakan dua attractor atau penarik yaitu cahaya dan suara.



Penggunaan dua attractor tersebut didasari hasil penelitian tentang tingkah laku ikan yang menunjukkan bahwa ada spesies ikan yang tertarik terhadap cahaya (fototaksis positif) dan ada juga ikan yang tertarik dengan suara (akustitaksis). “Ikan yang memiliki ketertarikan terhadap intensitas cahaya dan frekuensi suara tertentu akan mendekat dan berkumpul.Berdasarkan fenomena tersebut, maka dirancang alat yang mampu membangkitkan intensitas cahaya dan frekuensi suara yang disukai oleh ikan,” terangnya.

Penggunaan rumpon elektronik, lanjut Indra, sangat mudah. Alat bantu itu cukup ditenggelamkan ke dalam air laut hingga kedalaman maksimal lima meter. “Tidak perlu lebih, karena biasanya di atas kedalaman lima meter itu cahaya berkurang atau bahkan gelap,” papar Indra.  Manfaat yang bisa diperoleh dari penelitian ini adalah terkumpulnya ikan pada suatu daerah yang akan memudahkan nelayan untuk dapat melakukan operasi penangkapan ikan. “Perkembangan selanjutnya akan menciptakan sebuah metoda penangkapan/fishing technique baru dimana aktivitas penangkapan ikan dapat dilakukan secara efektif dan efisien serta selektif. Hal ini memungkinkan karena ikan yang tertarik dengan cahaya dan suara tentunya hanya ikan-ikan jenis tertentu yang spesifik,” kata Indra.
Rumpon elektronik itu sendiri, kata Indra, sebenarnya sudah dilakukan uji-coba pada 2008 lalu di Kepulauan Seribu dan hasilnya sangat memuaskan. Karena, dengan adanya bahan cahaya pada rumpon elektronik itu, ikan-ikan akan merasa nyaman saat mata mereka berinteraksi dengan cahaya. Dibandingkan dengan rumpon tradisional yang pembuatannya bisa mencapai Rp40 juta-an, rumpon elektronik lebih murah. Dari semua bahan-bahan yang digunakan untuk membuat rumpon elektronik hanya dibutuhkan Rp2,5 juta saja.

Meskipun produksi pembuatannya terbilang murah dari rumpon tradisional, rumpon elektronik belum dipasarkan secara massal.Itu karena, IPB hanya bergerak dalam hal pengembangan tekhnologi, sehingga aplikasinya masih terbatas. Karena itu, Indra terhadap hasil temuan-temuan tim peneliti yang dipimpinnya membuka diri kepada pihak yang hendak melakukan produksi massal. “Kalau ada persusahaan yang mau, kita akan melakukan kerjasama dengan memberitahukan cara-caranya. Dan tentunya hak ciptanya adala tim penelitiIPB,”.
Gambar dari terumbu buatan rumpon elektronik
http://foto.ubb.ac.id/main.php?cmd=image&var1=2012%2FDesember%2FPenelitian+Rumpon+Cumi+Berhasil+di+Perairan+Tuing%2C+Pulau+Bangka%2Frumponcumi-8.jpg&var2=700_85
Patung Bawah Laut
Terbuat dari semen khusus, patung ini sekaligus menjadi terumbu karang yang 'ditanam' sepuluh meter dari permukaan air laut. Variasi ikan dan makhluk laut lain di Laut Karibia pun akan terjaga kelestariannya di habitat buatan ini.
Gambar dari terumbu buatan patung

Concrete. 
Peralatan AFR terbuat dari bahan semen, pasir dan kerangka besi diolah menjadi concrete.  AFR didesain dalam berbagai bentuk sesuai dengan tujuan sebagai habitat buatan bagi ikan, cumi-cumi, lobster, kerang mata tujuh, dan biota lainnya. Desain AFR dapat dikelompokkan kepada 3 hal, yaitu: 1) AFR untuk jenis-jenis ikan, 2) ARF untuk pemijahan, 3) ARF untuk tanaman laut. ARF untuk jenis-jenis ikan didesain dengan bentuk silinder (cylindrical shape) yang sesuai sebagai habitat dan pengumpulan organisme laut karena efek lindungnya (shading effect). Bentuk lain adalah rectangular yang beratnya sekitar 10 ton, dan bentuk kerangka ”rumah” dengan berat sekitar 30 ton. ARF untuk pemijahan diklasifikasikan dalam 3 grup, yaitu 1) ARF untuk cumi-cumi, dengan bentuk dasar yang khas, 2) ARF untuk gurita dengan bentuk cakram, dan 3) ARF untuk ikan-ikan dengan formasi dasar tanaman laut atau rumput laut. ARF untuk tanaman laut di dasar laut disebut sebagai ”Marino-plantation” ditujukan untuk beberapa kegunaan, baik sebagai habitat ikan, maupun untuk membentuk lingkungan tanaman laut yang juga bermanfaat untuk melindungi lingkungan pantai.
Desain dan konstruksi AFR yang diuraikan disini adalah produk paten Jepang, yaitu: 1) Cylinder (berat 11 ton, diameter 3 m), 2) Rectangular (berat 10 ton), 3) Multi reef untuk oyster (berat 6 ton, tinggi 2.5 meter), 4) Sepia untuk cumi2 dan bulubabi (berat 10 ton dan diameter  3 m), 5)  Cradle untuk gurita (berat 4 ton diameter 2,20 m), 4) Ebisu untuk lobster (berat 5.5 ton, diameter 3 m), 6) Kainosu untuk tempat abalone (kerang mata tujuh) (berat 60 kg, diameter 49 cm), dan 7) Marino plantation berkegunaan ganda untuk rumput laut. Konstruksi AFR sebenarnya tidak begitu susah kalau perlengkapannya semua tersedia, yaitu peralatan dan bahan untuk pembuatan concrete AFR. Jenis AFR yang akan dibuat dibentuk dulu tuangannya (molding), sehingga AFR dapat diproduksi dalam jumlah yang banyak (mass production). Mengingat ukuran dan berat dari beberapa jenis AFR cukup besar, maka diperlukan derek pengangkut muatan yang kapasitasnya hingga 30 Ton. Untuk jenis AFR yang lebih kecil, maka kapasitas derek pengangkut disesuaikan ke ukuran yang juga kecil. Tempat produksi AFR hendaknya di daerah pantai pada pinggir perairan agak dalam sehingga kapal pengangkut ARF dapat merapat ke pantai, sehingga pemindahan produk ARF dari tempat produksi ke kapal dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
Penumpukan AFR di setiap lokasi biasanya berkisar 100-300 buah disusun berdampingan di dasar laut ataupun disusun bertingkat. Jarak suatu lokasi kumpulan AFR dengan lokasi lainnya dipertimbangkan sesuai dengan hasil analisis keberadaan sumberdaya ikan di daerah perairan tersebut.  Kedalaman air hingga ke dasar laut untuk penempatan AFR adalah paling tinggi 50 meter.  Efek dari AFR sebagai habitat buatan adalah meningkatkan kuantitas sumberdaya ikan. AFR yg dipasang bertahun-tahun didalam laut akan ditempeli oleh rumput laut, plankton, dan biota lainnya, sehingga terbentuk suatu habitat yg cocok untuk ikan. Stok sumberdaya ikan nantinya meningkat di daerah sekitar ARF ini.  Fungsi ARF adalah untuk menggantikan habitat alami yang tidak rusak akibat tekanan penangkapan ikan atau  lingkungan yang tergradasi.

Gambar dari terumbu buatan concert

Ban bekas
Terumbu karang yang ia maksud adalah rangkaian ban-ban mobil bekas yang dipertautkan satu sama lain menggunakan tali tambang plastik. Satu gugus terdiri atas 30 ban mobil bekas yang disusun hingga membentuk kerucut atau piramida. Pada alas kerucut, celah-celah ban bekas diberi semen sebagai pemberat.
Antara 5-12 Desember 2005, terumbu karang buatan berbentuk kerucut itu dilarung ke pantai barat dan timur Pangandaran, dibenamkan ke dasar laut di kedalaman lebih kurang 10 meter dari bibir pantai. Seluruh terumbu karang buatan yang dilarung berjumlah 40 gugus. Itu berarti Agus membenamkan 1.200 ban mobil bekas di pantai bara
Gambar dari terumbu buatan ban bekas
http://fdwiagungwidodo.files.wordpress.com/2013/01/tegal-9.jpg

Mitigasi terumbu buatan
Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang dan Produktivitas Kerusakan ekosistem terumbu karang tidak terlepas dari aktivitas manusia baik di daratan maupun pada ekosistem pesisir dan lautan. Kegiatan manusia di daratan seperti industri, pertanian, rumah tangga akhirnya dapat menimbulkan dampak negatif bukan saja pada perairan sungai tetapi juga pada ekosistem terumbu karang atau pesisir dan lautan.
Menurut UNEP (1990) dalam Dahuri R..et al (2001) sebagian besar (80 %) bahan pencemar yang ditemukan di laut berasal dari kegiatan manusia di daratan (land basic activities). Sebagai contoh kegiatan pengolahan pertanian dan kehutanan (up land) yang buruk tidak saja merusak ekosistem sungai melalui banjir dan erosi tetapi juga akan menimbulkan dampak negatif pada perairan pesisir dan lautan. Melalui penggunaan pupuk anorganik dan pestisida dari tahun ke tahun yang terus mengalami peningkatan telah menimbulkan masalah besar bagi wilayah pesisir dan lautan (Supriharyono, 2000). Pada tahun 1972 penggunaan pupuk nitrogen untuk seluruh kegiatan pertanian di Indonesia tercatat sekitar 350.000,- ton, maka pada tahun 1990 jumlah tersebut meningkat menjadi 1.500.000,- ton. Total penggunaan pestisida (insektisida) pada tahun 1975 sebesar 2.000 ton, kemudian pada tahun 1984 mencapai 16.000,- ton (Dahuri R.et al. 2001).
Daftar pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar