Selasa, 18 Maret 2014

isi deklarasi djuanda



DEKLARASI DJUANDA

Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.

Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13 Desember 1957, menyatakan:
  1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
  2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
  3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan :
    1. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat
    2. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan azas negara Kepulauan
    3. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI

1.    Perairan Kepulauan
 Dalam pasal 3 ayat 3 undang-undang perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan  yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.”
Karena Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS III) sudah mengakui konsep negara kepulauan (archipelagic state) maka perairan kepulauan Indonesia juga masuk kedalam perlindungan hukum laut internasional sebagaimana halnya negara-negara kepulauan lainnya.
2.    Perairan Pedalaman
Dalam pasal 8 ayat (1) United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi, “perairan pada sisi darat garis pangkal laut territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut”.[1] Sedangkan dalam pasal 3 (4) UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam pasal 7. Perairan Pedalaman Indonesia terdiri atas: laut pedalaman, dan perairan darat.
Selanjutnya, laut pedalaman menurut pengertian undang-undang ini adalah bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dan gari air rendah. Sedangkan Perairan Darat adalah segala perairan yang terletak pada sisa darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai.
Perincian dari Perairan Indonesia berdasarkan ketentuan-ketentuan dari UU No. 4/Prp tahun 1960 (sekarang UU No. 6 Tahun 1996),[2] hukum laut secara tradisional mengadakan pembagian laut atas laut lepas, laut wilayah dan perairan pedalaman. Di laut lepas, terdapat rezim kebebasan berlayar bagi semua kapal, di laut wilayah berlaku rezim lintas damai bagi kapal-kapal asing dan di perairan pedalaman hak lintas damai ini tidak ada. Sedangkan bagi Indonesia, karena adanya bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah yang menjadi laut pedalaman karena penarikan garis dasar lurus dari ujung ke ujung, pembagian perairan Indonesai agak sedikit berbeda dengan negara-negara lain. Sesuai dengan UU No. 4 /Perp Tahun 1960 tersebut, perairan Indonesia terdiri dari laut wilayah dan perairan Pedalaman. Perairan pedalaman ini dibagi pula atas laut pedalaman dan perairan daratan.
            Mengenai hak lintas damai di laut wilayah, tidak ada persoalan karena telah merupakan suatu ketentuan yang telah diterima dan dijamin oleh hukum internasional. Dilaut wilayah perairan Indonesia, kapal semua negara baik berpantai atau tidak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial (pasal 17 konvensi). Selanjutnya, Indonesia membedakan perairan pedalaman (perairan kepulauan atas dua golongan), yaitu:
  1. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4/Prp Tahun 1960 merupakan laut wilayah atau laut bebas. Perairan pedalaman ini disebut laut pedalaman atau internal seas.
  2. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya UU No. 4/Prp Tahun 1960 ini merupakan laut pedalaman yang dahulu, selanjutnya dinamakan perairan daratan atau coastal waters.
            Di laut pedalaman ini, pemerintah Indonesia menjamin hak lintas damai kapal-kapal asing. Sebagaimana kita ketahui, laut pedalaman ini dulunya adalah bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah dan sudah sewajarnya kita berikan hak lintas damai kepada kapal-kapal asing. Ketentuan yang juga dinyatakan oleh Konvensi Jenewa, dan yang ditegaskan pula oleh pasal 8 Konvensi 1982. Di perairan daratan tidak ada hak lintas damai. Ini adalah suatu hal yang wajar karena kedekatannya dengan pantai seperti anak-anak laut, muara-muara sungai, teluk-teluk yang mulutnya kurang dari 24 mil, pelabuhan-pelabuhan, dan lain-lainnya.[3] Sebagai tambahan, pemerintah Indonesia pada tahun 1985 telah meratifikasi UNCLOS III/1982 ini dengan mengeluarkan UU No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea yang ketiga.
            Sebagai bahan perbandingan dalam mempelajari perkembangan wacana hukum laut, khususnya yang membahas tentang laut teritorial dan jalur tambahan dalam era yang berbeda, berikut ini kita akan mengkaji perbedaan antara Konvensi Jenewa 1957 dengan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS III 1982) yang khusus membahas tentang Laut Territorial dan Jalur Tambahan ;
            Konvensi Jenewa 1957 yang membahas tentang Laut Territorial dan Jalur Tambahan meneguhkan beberapa azas tentang laut territorial yang telah berkembang sejak lahirnya hukum laut internasional dan memperoleh perumusannya yang jelas dalam konferensi kodifikasi Den Haag tahun 1930.
            Dalam beberapa hal, Konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan yang merupakan perkembangan baru dalam hukum laut internasional publik. Yang terpenting diantaranya adalah ketentuan-ketentuan dalam pasal 3, 4, dan 5 mengenai penarikan garis pangkal.
Pasal 1:  menyatakan bahwa laut teritorial yang merupakan suatu jalur yang   terletak disepanjang pantai suatu negara berada dibawah kedaulatan negara.
Pasal 2: menyatakan bahwa kedaulatan negara atas laut teritorial hanya meliputi juga ruang udara diatasnya dan dasar laut serta tanah dibawah dasar laut.
Pasal 3:  memuat ketentuan mengenai garis pasang surut (low water mark) sebagai garis pangkal biasa (“normal” base-line)http://www.negarahukum.com/wp-content/uploads/2012/09/images51-300x154.jpg
Pasal 4:  mengatur garis pangkal lurus dari ujung ke ujung (straight base-lines) sebagai cara penarikan garis pangkal yang dapat dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu.. Dalam penjabarannya, ayat (1) menetapkan dalam hal-hal mana dapat dipergunakan sistem penarikan garis pangkal lurus, yakni:
  1. Ditempat-tempat dimana pantai banyak liku-liku tajam atau laut masuk jauh kedalam.
  2. Apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tak jauh dari pantai.
            Ayat selanjutnya (2, 3, dan 5) memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan di dalam menggunakan penarikan garis pangkal menurut sistem garis pangkal lurus dari ujung ke ujung.
            Syarat pertama adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari arah umum daripada pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada sisi dalam (sisi darat) garis-garis demikian harus cukup dekat pada wilayah daratan untuk dapat diatur oleh rezim perairan pedalaman, (ayat 2).
            Syarat kedua adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh diantara dua pulau atau bagian daratan yang hanya timbul diatas permukaan  air diwaktu pasang surut (low-tide elevations) kecuali apabila diatasnya telah didirikan mercusuar-mercusuar atau instalasi-instalasi serupayang setiap waktu ada diatas permukaan air (ayat 3).
            Syarat ketiga adalah bahwa penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan laut wilayah negara lain dengan laut lepas. (ayat 5).
            Ayat 4 dapat dianggap sebagai tambahan pada ketentuan ayat 1 mengenai penetapan garis lurus sebagai garis pangkal. Ayat ini menetapkan bahwa dalam menetapkan garis pangkal lurus demikian dapat diperhatikan kebutuhan-kebutuhan istimewa yang bersifat ekonomis daripada suatu daerah yang dapat dibuktikan dengan kebiasaan-kebiasaan dan kebutuhan yang telah berlangsung lama.
            Ketentuan dalam ayat 1 yang menyatakan”……., ditempat-tempat dimana, dan seterusnya….,” menunjukan bahwa sistem garis pangkal lurus adalah cara penarikan garis pangkal istimewa yang dapat dipergunakan oleh suatu negara. Sifat istimewa daripada garis pangkal lurus tampak dengan lebih jelas apabila kita hubungkan ayat (1) ini dengan pasal 3 yang menyatakan garis pasang surut sebagai garis pangkal biasa (normal base-line). Ketentuan ini berarti suatu negara dapat emnggunakannya disebagian pantainya yang memenuhi syarat-syarat ayat (1).
            Sebagaimana diketahui keputusan-keputusan Konvensi I mengenai garis pangkal lurus ini didasarkan atas keputusan Mahkamah Internasional tanggal 28 Desember 1951 dalam perkara Sengketa Perikanan antara Inggris dan Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case).
            Dengan dimuatnya ketentuan mengenai penarikan garis pangkal lurus ini dalam konvensi mengenai “Laut Territorial dan Zona Tambahan”, maka isi keputusan Mahkamah Internasional tersebut yang berdasarkan pada pasal 59”…………, tidak mengikat kecuali terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan berkenaan dengan perkara yang bersangkutan”, kini telah diakui menjadi suatu cara penarikan garis pangkal yang – dengan syarat-syarat tertentu – berlaku umum.[4]
            Sedangkan ketentuan mengenai laut teritorial yang tercantum dalam UNCLOS IIII/1982 menjelaskan bahwa, kedaulatan negara pantai selain diwilayah daratan dan perairan pedalamannya,  perairan kepulauannya, juga meliputi laut teritorial, ruang udara diatasnya dan dasar laut serta lapisan tanah dibawahnya.
            Batas laut teritorial tidak melebihi batas 12 mil laut diukur dari garis  pangkal normal. Untuk negara-negara kepulauan yang mempunyai karang-karang disekitarnya, garis pangkalnya adalah garis pasang surut dari sisi karang ke arah laut. Bagian ini juga membahas tentang perairan kepulauan,  mulut sungai, teluk, instalasi pelabuhan, penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan serta lintas damai.
            Mengenai zona tambahan, menentukan bahwa negara pantai dalam zona tersebut bisa melaksanakan pengawasan yang diperlukan guna mencegah pelanggaran undang-undang menyangkut bea cukai, fiskal, imigrasi, dan saniter dalam wilayahnya, namun tidak boleh lebih dari 24 mil laut. Artinya, untuk zona tambahan, jaraknya diperluas selebar 12 mil laut diukur dari batas laut teritorial.
            Sebagaimana pernah disebutkan diatas, suatu negara mempunyai kedaulatan yang penuh dalam perairan teritorialnya dan dapat menyelenggarakan serta menjalankan tindakan-tindakan seperlunya untuk menjamin antara lain:
a.    Pertahanan keselamatan negara terhadap gangguan/ serangan dari luar;
b.    Pengawasan atas keluar masuknya orang asing (imigrasi);
c.    Penyelenggaraan peraturan fiskal (bea dan cukai);
d.    Pekerjaan dilapangan kesehatan (karantina);
e.    Kepentingan perikanan
f.     Pertambangan dan hasil-hasil alam lainnya.
Oleh karena itu, penentuan lebar laut 3 mil yang tercantum dalam  “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie tahun 1939” yang dalam pasal 1 ayat 1 a.l. menyatakan bahwa “laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) daripada pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebied) dari Indonesia………..” dirasakan tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang dan dirasakan sudah tidak cukup lagi untuk menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan negara Indonesia yang biasanya diselenggarakan dalam batas lautan territorial suatu negara. Oleh karena itu, pada tahun 1996 pemerintah RI mengeluarkan UU No 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia sebagai tindak lanjut dari kesepakatan UNCLOS III/1982 yang menetapkan batas laut teritorial seluas 12 mil laut.
            Menurut ICNT, yang dimaksud dengan ”Jalur Tambahan” adalah suatu daerah laut yang berdekatan dengan laut wilayah, yang lebarnya tidak lebih dari 24 mil laut dihitung dari garis dasar, dari mana lebar laut wilayah diukur. Dengan adanya lebar perairan yang kurang dari 24 mil laut yang membatasi wilayah RI dengan Malaysia,  dengan Singapura serta dengan Philipina, maka dengan perairan-perairan tertentu negara kita tidak memiliki ”Jalur Tambahan”.
            Pada jalur tambahan tersebut, NKRI mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu untuk
  1. Mencegah pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tentang ke-Bea-an, perpajakan (fiskal), imirasi, maupun ”sanitary”, yang berlaku di wilayah atau laut wilayah RI.
  2. Menindak pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tersebut diatas  yang dilakukan di wilayah atau laut wilayah RI.[5]
3. Laut teritorial
Dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Laut Teritorial adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 5”. Pasal 5 yang dimaksud adalah tentang ketentuan dan tata cara penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia. Definisi laut teritorial yang terdapat dalam UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia ini adalah mengikuti ketentuan yang tercantum dalam UNCLOS 1982.
Dalam ketentuan ini (UNCLOS III), batas laut teritorial tidak melebihi batas 12 mil laut diukur dari garis  pangkal normal. Untuk negara-negara kepulauan yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, garis pangkalnya adalah garis pasang surut dari sisi karang ke arah laut. Bagian ini juga membahas tentang perairan kepulauan,  mulut sungai, teluk, instalasi pelabuhan, penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan serta lintas damai.
4. Laut Tambahan
Zona tambahan didalam pasal 24 (1) UNCLOS III dinyatakan bahwa suatu zona dalam laut lepas yang bersambungan dengan laut teritorial negara pantai tersebut dapat melaksanakan pengawasannya yang dibutuhkan untuk:
  1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang berkenaan dengan masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal), keimigrasiandan kesehatan atau saniter.
  2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan perundang-undangannya tersebut di atas.
Didalam ayat 2 ditegaskan tentang lebar maksimum dari zona tambahan tidak boleh melampaui dari 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal ini berarti bahwa zona tambahan itu hanya mempunyai arti bagi negara-negara yang mempunyai lebar laut teritorial kurang dari 12 mil laut (ini menurut konvensi Hukum Laut Jenewa 1958), dan sudah tidak berlaku lagi setelah adanya ketentuan baru dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pasal 33 ayat 2 Konvensi Hukum Laut 1982, zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial itu diukur. Berikut ini beberapa hal guna memperjelas tentang letak zona tambahan itu:
Pertama,  Tempat atau garis dari mana lebar jalur tambahan itu harus diukur,              tempat atau garis itu adalah garis pangkal.
Kedua,     Lebar zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, diukur  dari  garis pangkal.
Ketiga,    Oleh karena zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal adalah merupakan laut teritorial, maka secara  praktis lebar zona tambahan itu adalah 12 mil (24-12) mil laut, itu diukur dari garis atau batas luar laut territorial, dengan kata lain zona tambahan selalu terletak diluar dan berbatasan dengan laut teritorial.
Keempat, Pada zona tambahan, negara pantai hanya memiliki yurisdiksi yang terbats seperti yang ditegaskan dalam pasal 33 ayat 1 Konvensi Hukla 1982. Hal ini tentu saja berbeda  dengan laut teritorial dimana negara pantai di laut teritorial memiliki kedaulatan sepenuhnya dan hanya dibatasi oleh hak lintas damai.
5. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)
Indonesia berhak dan telah menetapkan ZEE-nya selebar 200 mil dari garis-garis pangkal nusantara (Pasal 48 dan 57). Dalam ZEE, Indonesia mempunyai:
  1. Sovereign rights atas seluruh kekayaan alam yang terdapat di dalamnya;
  2. Yurisdiksi untuk: (a) Mendirikan, mengatur dan menggunakan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya (Pasal 56 dan 60); (b) Mengatur penyelidikan ilmiah kelautan; (c) Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut;
  3. Hak dan kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan dalam konvensi.
Di ZEE, negara-negara lain mempunyai: (1) Kebebasan berlayar dan terbang; (2) Hak meletakkan kabel dan pipa-pipa, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum laut tentang Landas Kontinen dan ZEE; (3) Kebebasan-kebebasan laut lepas yang disebut dalam pasal 88 sampai 115, yang mencakup berbagai bidang yang ada hubungannya dengan kapal dan pelayaran; (4) Akses terhadap. surplus perikanan yang tidak dimanfaatkan oleh negara pantai.
Tindakan-tindakan yang diperlukan adalah:
  1. Menetapkan batas terluar ZEE Indonesia dalam suatu peta yang disertai koordinat dan titik-titiknya;
  2. Menetapkan dalam persetujuan-persetujuan dengan negara tetangga tentang batas-batas dan ZEE Indonesia yang mungkin tumpang tindih dengan ZEE negara tetangga. Batas-batas landas kontinen yang telah ditetapkan dengan negara-negara tetangga dalam berbagai persetujuan belum tentu dapat dianggap sama dengan batas ZEE, karena kedua konsepsi mi (ZEE dan landas kontinen) adalah 2 konsepsi yang berbeda dan masing-masing merupakan konsep yang sui generis.
  3. Mengumumkan dan mendepositkan copy dan peta-peta atau daftar koordinat-koordinat tersebut pada Sekjen PBB (Pasal 75)
  4. Mengumumkan secara wajar pembangunan dan letak pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan lainnya, serta safety zonenya dan membongkarnya kalau tidak dipakai lagi (Pasal 60 mengatur soal ini secara terperinci);
  5. Indonesia harus menetapkan allowable catch dan sumber-sumber perikanan ZEE-nya (Pasal 61). Indonesia sebagai negara pantai juga berkewajiban memelihara, berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang ada, agar sumber-sumber perikanannya tidak over-exploited demi untuk menjaga maximum sustainable yield. Untuk maksud-maksud ini, Indonesia dirasa perlu bekerja sama dengan negara-negara lain yang berkepentingan dan dengan organisasi-organisasi internasional yang kompeten;
  6. Untuk mencapai optimum utilization dan kekayaan alam tersebut, Indonesia harus menetapkan its capacity to harvest dan memberikan kesernpatan kepada negara lain di kawasannya, terutama negara-negara tidak berpantai dan negara-negara yang secara geografis kurang beruntung, untuk memanfaatkan the surplus of the allowable catch yang tidak dimanfaatkan oleh Indonesia (Pasal 62, 69, 70, 71, dan 72 mengatur soal pemanfaatan surplus);
  7. Untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di ZEE, Indonesia perlu mengeluarkan peraturan-peraturan perikanan yang diperkenankan oleh konvensi (Pasal 62 ayat 4), misalnya tentang izin penangkapan ikan, penentuan jenis ikan yang boleh ditangkap, pembagian musim dan daerah penangkapan ikan, penentuan umur dan ukuran ikan yang boleh ditangkap dan lain-lain;
  8. Mengatur dengan negara-negara yang bersangkutan atau dengan organisasi-organisasi regional/internasional yang wajar tentang pemeliharaan dan pengembangan sumber-sumber perikanan yang terdapat di ZEE 2 negara atau Iebih (shared stocks), highly migratory species dan memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang marine mammals, anadromous dan catadromous species dan sedentary species.
6. Landas Kontinen
Negara pantai termasuk Indonesia berhak mempunyai landas kontinen di luar laut wilayahnya throughout the natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin atau sampai 200 mil dan garis-garis pantai (Pasal 76 ayat 1). Negara pantai harus menctapkan batas terluar dan continental marginnya jika continental margin tersebut berada di luar batas 200 mil.
Batas terluar dan landas kontinen di continental margin yang terletak di luar 200 mil ditetapkan maksimum 350 mil dan garis pangkal atau 100 mill dan kedalaman air 2500 meter. Batas itu harus ditetapkan dengan garis-garis lurus yang masing-masing panjangnya tidak boleh lebih dari 60 mil. Batas itu dapat diperiksa oleh suatu Commission on the Limit of the Continental Shelf yang akan didirikan dan harus diumumkan dan didepositkan pada Sekjen PBB (Pasal 76 ayat 9).
Berlainan dengan hak negara pantai atas ZEE (yang memungkinkan surplus perikanan diambil oleh negara lain) hak-hak berdaulat negara pantai atas kekayaan alam, landas kontinennya adalah exclusive dan tidak perlu dibagi-bagi dengan negara lain, kecuali seperti tersebut di bawah, walaupun negara-negara yang bersangkutan belum memanfaatkannya.
Selanjunya dijelaskan, negara pantai harus menyumbangkan sebagian dan hasil kekayaan alam landas kontinen yang diambilnya di luar batas 20 mil kepada Badan Otorita Internasional yang akan didirikan. Besarnya sumbangan itu adalah 1 persen dan produksi mulai tahun ke-6 produksi dan kemudian setiap tahun naik dengan 1 persen sehingga kontribusi tersebut maksimum menjadi 7 persen mulai tahun produksi ke-12.
Tindakan-tindakan lanjutan yang perlu dilakukan oleh pemerintah RI adalah:
  1. Indonesia harus menyelidiki apakah secara geologis Indonesia mempunyai continental margin di luar batas 200 mil. Jika ada, maka kita harus menetapkan batas tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi dan mendepositkan peta disertai koordinat batas-batasnya pada Sekjen PBB dan International Authority (Pasal 84) yang pembentukannya pada waktu ini sedang dirundingkan;
  2. Indonesia masih harus menyelesaikan batas landas kontinennya dengan negara-negara tetangga, terutama dengan Vietnam, Australia, Philipina dan Malaysia di Kalimantan Timur;
  3. Juga UU Landas Kontinen Indonesia No. 7/1973 kiranya harus diperbaharui untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan baru landas kontinen mi;
  4. Perlu ditata kembali UU/ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan penyelidikan ilniah, pemeliharaan lingkungan, pengamanan instalasi-instalasi, eksploitasi dan explorasi di landas kontinen serta penentuan jurisdiksi imigrasi, bea cukai, masalah-rnasalah perdata dan pidana di landas kontinen Indonesia.







Daftar bacaan
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: PT Alumni, 2005.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bandung: Binacipta, 1978.
S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya Dalam UUD 1945  Serta Pembangunan Nasional, Jakarta: PT Bina Aksara, 1985.

[1] Pasal 8 (1) UNCLOS 1982
[2] Sekarang tidak berlaku lagi karena sudah diganti dengan UU No1/1974 tentang Landas Kontinen Indonesia, UU No 5/1983 tentang ZEEI dan UU No  6/1996 tentang Perairan Indonesia
[3] Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung: PT Alumni, 2005), hlm. 383-384.
[4] Mochtar Kusumaatmadj, Hukum Laut Internasional, (Bandung:  Binacipta, 1978), hlm 129-133. Konferensi Internasional Hukum Laut III, Tanggal 10 Desember 1982 (UNCLOS 1982) belum dilaksanakan. Tetapi kurang lebih sebagai perbandingan dalam menganalisa dinamika perkembangan antara Konvensi Jenewa tahun 1958 dengan UNCLOS 1982 yang juga saling berkaitan. Baca juga hasil-hasil Konvensi Hukum Laut Jenewa 1957.
[5] S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya Dalam UUD 1945  Serta Pembangunan Nasional, (Jakarta:  PT Bina Aksara, 1985), hlm. 84-85.

2 komentar: